Israel (bahasa Ibrani מדינת ישראל Medinat Yisra‘el, Arab دولة إسرائيل Dawlat Isrā'īl) adalah sebuah negara di Timur Tengah yang dikelilingi Laut Tengah, Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir dan gurun pasir Sinai. Selain itu dikelilingi pula dua daerah Otoritas Nasional Palestina: Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dengan populasi sebesar 7,28 juta jiwa, Israel merupakan satu-satunya negara Yahudi di dunia.[6] Selain itu, terdapat pula beberapa kelompok etnis minoritas lainnya, meliputi etnis Arab yang berkewarganegaraan Israel, beserta kelompok-kelompok keagamaan lainnya seperti Muslim, Kristen, Druze, Samaria, dan lain-lain.
Pendirian negara modern Israel berakar dari konsep Tanah Israel (Eretz Yisrael), sebuah konsep pusat Yudaisme sejak zaman kuno,[7] yang juga merupakan pusat wilayah Kerajaan Yehuda kuno. Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa menyetujui dijadikannya Mandat Britania atas Palestina sebagai "negara orang Yahudi".[8] Pada tahun 1947, PBB menyetujui Pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab.[9] Pada 14 Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya dan ini segera diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian ini. Israel kemudian memenangkan perang ini dan mengukuhkan kemerdekaannya. Akibat perang ini pula, Israel berhasil memperluas batas wilayah negaranya melebihi batas wilayah yang ditentukan oleh Rencana Pembagian Palestina. Sejak saat itu, Israel terus menerus berseteru dengan negara-negara Arab tetangga, menyebabkan peperangan dan kekerasan yang berlanjut sampai saat ini.[10] Sejak awal pembentukan Negara Israel, batas negara Israel beserta hak Israel untuk berdiri telah dipertentangkan oleh banyak pihak, terutama oleh negara Arab dan para pengungsi Palestina. Israel telah menandatangani perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, namun usaha perdamaian antara Palestina dan Israel sampai sekarang belum berhasil.
Israel merupakan negara demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer dan hak pilih universal.[11][12] Perdana Menteri Israel menjabat sebagai kepala pemerintahan dan Knesset bertugas sebagai badan legislatif Israel. Dalam hal produk domestik bruto, ekonomi negara ini menduduki peringkat ke-44 di dunia.[13] Israel memiliki peringkat Indeks Pembangunan Manusia[14], kebebasan pers[15], dan daya saing ekonomi[16] yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara Arab di sekitarnya. Menurut hukum negara Israel, ibukota Israel adalah Yerusalem. Walaupun demikian badan PBB dan kebanyakan negara di dunia tidak mengakuinya.
Pendirian negara modern Israel berakar dari konsep Tanah Israel (Eretz Yisrael), sebuah konsep pusat Yudaisme sejak zaman kuno,[7] yang juga merupakan pusat wilayah Kerajaan Yehuda kuno. Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa menyetujui dijadikannya Mandat Britania atas Palestina sebagai "negara orang Yahudi".[8] Pada tahun 1947, PBB menyetujui Pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab.[9] Pada 14 Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya dan ini segera diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian ini. Israel kemudian memenangkan perang ini dan mengukuhkan kemerdekaannya. Akibat perang ini pula, Israel berhasil memperluas batas wilayah negaranya melebihi batas wilayah yang ditentukan oleh Rencana Pembagian Palestina. Sejak saat itu, Israel terus menerus berseteru dengan negara-negara Arab tetangga, menyebabkan peperangan dan kekerasan yang berlanjut sampai saat ini.[10] Sejak awal pembentukan Negara Israel, batas negara Israel beserta hak Israel untuk berdiri telah dipertentangkan oleh banyak pihak, terutama oleh negara Arab dan para pengungsi Palestina. Israel telah menandatangani perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, namun usaha perdamaian antara Palestina dan Israel sampai sekarang belum berhasil.
Israel merupakan negara demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer dan hak pilih universal.[11][12] Perdana Menteri Israel menjabat sebagai kepala pemerintahan dan Knesset bertugas sebagai badan legislatif Israel. Dalam hal produk domestik bruto, ekonomi negara ini menduduki peringkat ke-44 di dunia.[13] Israel memiliki peringkat Indeks Pembangunan Manusia[14], kebebasan pers[15], dan daya saing ekonomi[16] yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara Arab di sekitarnya. Menurut hukum negara Israel, ibukota Israel adalah Yerusalem. Walaupun demikian badan PBB dan kebanyakan negara di dunia tidak mengakuinya.
Etimologi
Selama lebih dari tiga ribu tahun, nama "Israel" memiliki pengertian umum dan religi sebagai Tanah Israel ataupun keseluruhan negara Yahudi.[17] Menurut Alkitab, Yakub dinamai Israel setelah berhasil bergumul dengan seorang malaikat Tuhan.[18]
Berdasarkan penemuan artefak arkeologi, nama "Israel" (selain sebagai nama pribadi) paling awal disebutkan di prasasti Merneptah Mesir kuno (sekitar akhir abad ke-13 SM). Pada prasasti tersebut nama "Israel" itu sendiri merujuk kepada sekelompok orang yang berasal dari tanah tertentu.[19] Negara modern Israel dinamakan Medinat Yisrael, yang artinya "Negara Israel". Selain itu, terdapat pula nama-nama lain yang digagaskan, meliputi Eretz Israel ("Tanah Israel"), Zion, dan Judea , namun semuanya ditolak.[20] Dalam Bahasa Inggris, warga negara/orang Israel disebut sebagai Israeli. Istilah tersebut dipilih oleh pemerintah Israel pada awal kemerdekaannya. Hal ini secara resmi diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Israel saat itu, Moshe Sharett.[21]
Sejarah
Awal sejarah
Tanah Israel, yang dikenal dalam bahasa Ibrani sebagai Eretz Yisrael, merupakan tanah suci orang Yahudi. Menurut kitab Taurat, Tanah Israel dijanjikan kepada tiga Patriark Yahudi oleh Tuhan sebagai tanah air mereka[22][23]. Pada cendekiawan memperkirakan periode ini ada pada milenium ke-2 SM.[24] Menurut pandangan tradisional, sekitar abad ke-11 SM, beberapa kerajaan dan negara Israel didirikan disekitar Tanah Israel; Kerajaan-kerajaan dan negara-negara ini memerintah selama seribu tahun ke depan.[25]
Antara periode Kerajaan-kerajaan Israel dan penaklukan Muslim abad ke-7, Tanah Israel jatuh di bawah pemerintahan Asiria, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, Sassania, dan Bizantium.[26] Keberadaan orang Yahudi di wilayah tersebut berkurang drastis setelah kegagalan Perang Bar Kokhba melawan Kekaisaran Romawi pada tahun 132, menyebabkan pengusiran besar-besaran Yahudi. Pada tahun 628/9, Kaisar Bizantium Heraklius memerintahkan pembantaian dan pengusiran orang-orang Yahudi, mengakibatkan populasi Yahudi menurun lebih jauh. Walau demikian, terdapat sekelompok kecil populasi Yahudi yang masih menetap di tanah Israel. Tanah Israel direbut dari Kekaisaran Bizantium sekitar tahun 636 oleh penakluk muslim. Selama lebih dari enam abad, kontrol wilayah tersebut berada di bawah kontrol Umayyah,[27] Abbasiyah,[28] dan Tentara Salib sebelum jatuh di bawah Kesulatanan Mameluk pada tahun 1260. Pada tahun 1516, Tanah Israel menjadi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah, yang memerintah wilayah tersebut sampai pada abad ke-20.[29]
Zionisme dan Mandat Britania
Orang-orang Yahudi yang berdiaspora telah lama bercita-cita untuk kembali ke Zion dan Tanah Israel.[30] Harapan dan kerinduan tersebut tercatat pada Alkitab[31] dan merupakan tema pusat pada buku doa Yahudi. Pada permulaan abad ke-12, penindasan Yahudi oleh Katolik mendorong perpindahan orang-orang Yahudi Eropa ke Tanah Suci dan meningkatkan jumlah populasi Yahudi setelah pengusiran orang Yahudi dari Spanyol pada tahun 1492.[32] Selama abad ke-16, komunitas-komunitas besar Yahudi kebanyakan berpusat pada Empat Kota Suci Yahudi, yaitu Yerusalem, Hebron, Tiberias, dan Safed. Pada pertengahan kedua abad ke-18, keseluruhan komunitas Hasidut yang berasal dari Eropa Timur telah berpindah ke Tanah Suci.[33]
Imigrasi dalam skala besar, dikenal sebagai Aliyah Pertama (Bahasa Ibrani: עלייה), di mulai pada tahun 1881, yakni pada saat orang-orang Yahudi melarikan diri dari pogrom di Eropa Timur.[34] Manakala gerakan Zionisme telah ada sejak dahulu kala, Theodor Herzl merupakan orang Yahudi pertama yang mendirikan gerakan politik Zionisme,[35] yakni gerakan yang bertujuan mendirikan negara Yahudi di Tanah Israel.[36] Pada tahun 1896, Herzl menerbitkan buku Der Judenstaat (Negara Yahudi), memaparkan visinya tentang negara masa depan Yahudi; Tahun berikutnya ia kemudian mengetuai Kongres Zionis Dunia pertama.[37]
Aliyah Kedua (1904–1914) dimulai setelah terjadinya pogrom Kishinev. Sekitar 40.000 orang Yahudi kemudian berpindah ke Palestina.[34] Baik gelombang pertama dan kedua migrasi tersebut utamanya adalah Yahudi Ortodoks,[38] namun pada Aliyah Kedua ini juga meliputi pelopor-pelopor gerakan kibbutz.[39] Selama Perang Dunia I, Menteri Luar Negeri Britania Arthur Balfour mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour, yaitu deklarasi yang mendukung pendirian negara Yahudi di tanah Palestina. Atas permintaan Edwin Samuel Montagu dan Lord Curzon, disisipkan pula pernyataan "it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country".[40] Legiun Yahudi, sekelompok batalion yang terdiri dari sukarelawan-sukarelawan Zionis, kemudian membantu Britania menaklukkan Palestina. Oposisi Arab terhadap rencana ini berujung pada Kerusuhan Palestina 1920 dan pembentukan organisasi Yahudi yang dikenal sebagai Haganah (dalam Bahasa Ibrani artinya "Pertahanan").[41]
Pada tahun 1922, Liga Bangsa-Bangsa mempercayakan mandat atas Palestina kepada Britania Raya.[42] Populasi wilayah ini pada saat itu secara dominan merupakan Arab muslim, sedangkan pada wilayah perkotaan seperti Yerusalem, secara dominan merupakan Yahudi.[43]
Imigrasi Yahudi berlanjut dengan Aliyah Ketiga (1919–1923) dan Aliyah Keempat (1924–1929), secara keseluruhan membawa 100.000 orang Yahudi ke Palestina.[34] Setelah terjadinya kerusuhan Jaffa, Britania membatasi imigrasi Yahudi, dan wilayah yang ditujukan sebagai negara Yahudi dialokasikan di Transyordania.[44] Meningkatnya gerakan Nazi pada tahun 1930 menyebabkan Aliyah kelima (1929-1939) dengan masukknya seperempat juta orang Yahudi ke Palestina. Gelombang masuknya Yahudi secara besar-besaran ini menimbulkan Pemberontakan Arab di Palestina 1936-1939, memaksa Britania membatasi imigrasi dengan mengeluarkan Buku Putih 1939. Sebagai reaksi atas penolakan negara-negara di dunia yang menolak menerima pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust, dibentuklah gerakan bawah tanah yang dikenal sebagai Aliyah Bet yang bertujuan untuk membawa orang-orang Yahudi ke Palestina.[34] Pada akhir Perang Dunia II, jumlah populasi orang Yahudi telah mencapai 33% populasi Palestina, meningkat drastis dari sebelumnya yang hanya 11% pada tahun 1922.[45]
Kemerdekaan dan tahun-tahun pertama
Setelah 1945, Britania Raya menjadi terlibat dalam konflik kekerasan dengan Yahudi.[46] Pada tahun 1947, pemerintah Britania menarik diri dari Mandat Palestina, menyatakan bahwa Britania tidak dapat mencapai solusi yang diterima baik oleh orang Arab maupun Yahudi.[47] Badan PBB yang baru saja dibentuk kemudian menyetujui Rencana Pembagian PBB (Resolusi Majelis Umum PBB 18) pada 29 November 1947. Rencana pembagian ini membagia Palestina menjadi dua negara, satu negara Arab, dan satu negara Yahudi. Yerusalem ditujukan sebagai kota Internasional – corpus separatum – yang diadministrasi oleh PBB untuk menghindari konflik status kota tersebut.[48] Komunitas Yahudi menerima rencana tersebut,[49] tetapi Liga Arab dan Komite Tinggi Arab menolaknya atas alasan kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini.[50] Pada 1 Desember 1947, Komite Tinggi Arab mendeklarasikan pemogokan selama 3 hari, dan kelompok-kelompok Arab mulai menyerang target-target Yahudi. Perang saudara dimulai ketika kaum Yahudi yang mula-mulanya bersifat defensif perlahan-lahan menjadi ofensif. Ekonomi warga Arab-Palestina runtuh dan sekitar 250.000 warga Arab-Palestina diusir ataupun melarikan diri.[51]
Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum akhir Mandat Britania, Agensi Yahudi memproklamasikan kemerdekaan dan menamakan negara yang didirikan tersebut sebagai "Israel". Sehari kemudian, gabungan lima negara Arab – Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon dan Irak –menyerang Israel, menimbulkan Perang Arab-Israel 1948.[52] Maroko, Sudan, Yemen dan Arab Saudi juga membantu mengirimkan pasukan. Setelah satu tahun pertempuran, genjatan senjata dideklarasikan dan batas wilayah sementara yang dikenal sebagai Garis Hijau ditentukan. Yordania kemudian menganeksasi wilayah yang dikenal sebagai Tepi Barat dan Yerusalem Timur, sedangkan Mesir mengontrol Jalur Gaza. Israel kemudian diterima sebagai anggota PBB pada tanggal 11 Mei 1949.[53] Selama konflik ini, sekitar 711.000 orang Arab Palestina (80% populasi Arab) mengungsi keluar Palestina.[54
Pada masa-masa awal kemerdekannya, gerakan Zionisme buruh yang dipimpin oleh Perdana Menteri David Ben-Gurion mendominasi politik Israel.[55][56] Tahun-tahun ini ditandai dengan imigrasi massal para korban yang selamat dari Holocaust dan orang-orang Yahudi yang diusir dari tanah Arab. Populasi Israel meningkat dari 800.000 menjadi 2.000.000 dalam jangka waktu sepuluh tahun antara 1948 sampai dengan 1958.[57] Kebanyakan pengungsi tersebut ditempatkan di perkemahan-perkemahan yang dikenal sebagai ma'abarot. Sampai tahun 1952, 200.000 imigran bertempat tingal di kota kemah ini. Adanya desakan untuk menyelesaikan krisis ini memaksa Ben-Gurion menandatangani perjanjian antara Jerman Barat dengan Israel. Perjanjian ini menimbulkan protes besar kaum Yahudi yang tidak setuju Israel berhubungan dengan Jerman.[58]
Selama tahun 1950-an, Israel terus menerus diserang oleh militan Palestina yang kebanyakan berasal dari Jalur Gaza yang diduduki oleh Mesir.[59] Pada tahun 1956, Israel bergabung ke dalam sebuah aliansi rahasia bersama dengan Britania Raya dan Perancis, yang betujuan untuk merebut kembali Terusan Suez yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh Mesir (lihat Krisis Suez). Walaupun berhasil merebut Semenanjung Sinai, Israel dipaksa untuk mundur atas tekanan dari Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai ganti atas jaminan hak pelayaran Israel di Laut Merah dan Terusan Suez.[60]
Pada permulaan dekade selanjutnya, Israel berhasil menangkap dan mengadili Adolf Eichmann, seorang penggagas utama Solusi Akhir yang bersembunyi di Argentina.[61] Peradilan ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepedulian publik terhadap Holocaust,[62] dan sampai sekarang Eichmann merupakan satu-satunya orang yang dieksekusi oleh Israel[63] walaupun John Demjanjuk juga dijatuhi hukuman mati sebelum kemudian putusan tersebut dibalikkan oleh Mahkamah Agung Israel[64].
Konflik dan perjanjian damai
Setelah 1945, Britania Raya menjadi terlibat dalam konflik kekerasan dengan Yahudi.[46] Pada tahun 1947, pemerintah Britania menarik diri dari Mandat Palestina, menyatakan bahwa Britania tidak dapat mencapai solusi yang diterima baik oleh orang Arab maupun Yahudi.[47] Badan PBB yang baru saja dibentuk kemudian menyetujui Rencana Pembagian PBB (Resolusi Majelis Umum PBB 18) pada 29 November 1947. Rencana pembagian ini membagia Palestina menjadi dua negara, satu negara Arab, dan satu negara Yahudi. Yerusalem ditujukan sebagai kota Internasional – corpus separatum – yang diadministrasi oleh PBB untuk menghindari konflik status kota tersebut.[48] Komunitas Yahudi menerima rencana tersebut,[49] tetapi Liga Arab dan Komite Tinggi Arab menolaknya atas alasan kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini.[50] Pada 1 Desember 1947, Komite Tinggi Arab mendeklarasikan pemogokan selama 3 hari, dan kelompok-kelompok Arab mulai menyerang target-target Yahudi. Perang saudara dimulai ketika kaum Yahudi yang mula-mulanya bersifat defensif perlahan-lahan menjadi ofensif. Ekonomi warga Arab-Palestina runtuh dan sekitar 250.000 warga Arab-Palestina diusir ataupun melarikan diri.[51]
Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum akhir Mandat Britania, Agensi Yahudi memproklamasikan kemerdekaan dan menamakan negara yang didirikan tersebut sebagai "Israel". Sehari kemudian, gabungan lima negara Arab – Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon dan Irak –menyerang Israel, menimbulkan Perang Arab-Israel 1948.[52] Maroko, Sudan, Yemen dan Arab Saudi juga membantu mengirimkan pasukan. Setelah satu tahun pertempuran, genjatan senjata dideklarasikan dan batas wilayah sementara yang dikenal sebagai Garis Hijau ditentukan. Yordania kemudian menganeksasi wilayah yang dikenal sebagai Tepi Barat dan Yerusalem Timur, sedangkan Mesir mengontrol Jalur Gaza. Israel kemudian diterima sebagai anggota PBB pada tanggal 11 Mei 1949.[53] Selama konflik ini, sekitar 711.000 orang Arab Palestina (80% populasi Arab) mengungsi keluar Palestina.[54
Pada masa-masa awal kemerdekannya, gerakan Zionisme buruh yang dipimpin oleh Perdana Menteri David Ben-Gurion mendominasi politik Israel.[55][56] Tahun-tahun ini ditandai dengan imigrasi massal para korban yang selamat dari Holocaust dan orang-orang Yahudi yang diusir dari tanah Arab. Populasi Israel meningkat dari 800.000 menjadi 2.000.000 dalam jangka waktu sepuluh tahun antara 1948 sampai dengan 1958.[57] Kebanyakan pengungsi tersebut ditempatkan di perkemahan-perkemahan yang dikenal sebagai ma'abarot. Sampai tahun 1952, 200.000 imigran bertempat tingal di kota kemah ini. Adanya desakan untuk menyelesaikan krisis ini memaksa Ben-Gurion menandatangani perjanjian antara Jerman Barat dengan Israel. Perjanjian ini menimbulkan protes besar kaum Yahudi yang tidak setuju Israel berhubungan dengan Jerman.[58]
Selama tahun 1950-an, Israel terus menerus diserang oleh militan Palestina yang kebanyakan berasal dari Jalur Gaza yang diduduki oleh Mesir.[59] Pada tahun 1956, Israel bergabung ke dalam sebuah aliansi rahasia bersama dengan Britania Raya dan Perancis, yang betujuan untuk merebut kembali Terusan Suez yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh Mesir (lihat Krisis Suez). Walaupun berhasil merebut Semenanjung Sinai, Israel dipaksa untuk mundur atas tekanan dari Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai ganti atas jaminan hak pelayaran Israel di Laut Merah dan Terusan Suez.[60]
Pada permulaan dekade selanjutnya, Israel berhasil menangkap dan mengadili Adolf Eichmann, seorang penggagas utama Solusi Akhir yang bersembunyi di Argentina.[61] Peradilan ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepedulian publik terhadap Holocaust,[62] dan sampai sekarang Eichmann merupakan satu-satunya orang yang dieksekusi oleh Israel[63] walaupun John Demjanjuk juga dijatuhi hukuman mati sebelum kemudian putusan tersebut dibalikkan oleh Mahkamah Agung Israel[64].
Konflik dan perjanjian damai
Negara-negara Arab selama bertahun-tahun menolak hak Israel untuk berdiri. Nasionalisme Arab yang dipimpin oleh Nasser menyerukan penghancuran negara Israel.[65] Pada tahun 1967, Mesir, Suriah, dan Yordania menutup perbatasannya dengan Israel dan mengusir pasukan perdamaian PBB keluar dari wilayah tersebut serta memblokade akses Israel terhadap Laut Merah. Israel kemudian melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Hal ini kemudian berujung pada Perang Enam Hari yang kemudian dimenangkan oleh Israel. Pada perang ini, Israel berhasil merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.[66] Garis Hijau menjadi penanda batas antara wilayah administrasi Israel dengan Wilayah pendudukan Israel. Batas wilayah Yerusalem juga diperluas dengan memasukkan wilayah Yerusalem Timur. Sebuah undang-undang yang mengesahkan pemasukan wilayah ini kemudian ditetapkan. Hal ini kemudian berujung pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 478 yang menyatakan bahwa penetapan ini tidak sah dan melanggar hukum internasional.
Kegagalan negara-negara Arab pada perang tahun 1967 kemudian menyebabkan tumbuhnya gerakan kemerdekaan Palestina oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).[67][68] Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, beberapa kelompok militer Palestina melancarkan berbagai gelombang serangan[69] terhadap warga-warga Israel di seluruh dunia,[70] termasuk pula pembunuhan atlet-atlet Israel pada Olimpiade München 1972. Israel membalas aksi tersebut dengan melancarkan Operasi Wrath of God (Kemarahan Tuhan). Pada operasi ini, orang-orang yang bertanggung jawab terhadap peristiwa München ini dilacak dan dibunuh.[71]
Pada hari Yom Kippur 6 Oktober 1973 yang merupakan hari suci Yahudi, pasukan Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terhadap Israel. Perang tersebut berakhir pada tanggal 26 Oktober dengan Israel berhasil memukul balik pasukan Mesir dan Suriah. Walaupun demikian perang ini dianggap sebagai kekalahan Israel.[72] Sebuah komisi yang dibentuk untuk menginvestigasi perang ini membebaskan pemerintah Israel dari tanggung jawab. Namun kemarahan publik Israel pada akhirnya memaksa Perdana Menteri Golda Meir untuk mengundurkan diri.
Pemilihan Knesset 1977 menandai terjadinya titik balik dalam sejarah perpolitikan Israel. Pada pemilihan ini, Menachem Begin yang berasal dari partai Likud mengambil alih kontrol pemerintahan dari Partai Buruh Israel.[73] Pada tahun itu pula, Presiden Mesir Anwar El Sadat melakukan kunjungan ke Israel dan mengucapkan pidato di depan Knesset. Aksi ini dilihat sebagai pengakuan kedaulatan Israel yang pertama oleh negara Arab.[74] Dua tahun kemudian, Sadat dan Menachem Begin menandatangani Persetujuan Camp David dan Perjanjian Damai Israel-Mesir.[75] Israel menarik mundur pasukannya dari semenanjung Sinai dan setuju untuk bernegosiasi membahas otonomi warga Palestina yang berada di luar Garis Hijau. Namun, rencana tersebut tidak pernah diimplementasi. Pemerintahan Begin mendukung warga Israel untuk bermukim di Tepi Barat, mengakibatkan konflik dengan warga Palestina di daerah tersebut.
Pada tanggal 7 Juni 1981, Israel membombardir reaktor nuklir Osirak milik Irak pada Operasi Opera. Badan intelijen Israel, Mossad, mencurigai reaktor nuklir tersebut akan digunakan Irak untuk mengembangkan senjata nuklir. Pada tahun 1982, Israel melakukan intervensi pada Perang Saudara Lebanon untuk menghancurkan basis-basis serangan Organisasi Pembebasan Palestina di Israel Utara. Intervensi ini kemudian berkembang menjadi Perang Lebanon Pertama.[76] Israel menarik pasukannya dari Lebanon pada tahun 1986. Intifada Pertama yang merupakan perlawanan rakyat Palestina terhadap pemerintahan Israel[77] terjadi pada tahun 1987, menyebabkan terjadinya kekerasan di daerah pendudukan Israel. Selama 6 tahun berikutnya, lebih dari seribu orang tewas, kebanyakan merupakan korban kekerasan internal warga Palestina.[78] Selama Perang Teluk 1991, PLO dan kebanyakan warga Palestina mendukung Saddam Hussein dan Irak dalam melancarkan serangan misil terhadap Israel.[79][80]
Kegagalan negara-negara Arab pada perang tahun 1967 kemudian menyebabkan tumbuhnya gerakan kemerdekaan Palestina oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).[67][68] Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, beberapa kelompok militer Palestina melancarkan berbagai gelombang serangan[69] terhadap warga-warga Israel di seluruh dunia,[70] termasuk pula pembunuhan atlet-atlet Israel pada Olimpiade München 1972. Israel membalas aksi tersebut dengan melancarkan Operasi Wrath of God (Kemarahan Tuhan). Pada operasi ini, orang-orang yang bertanggung jawab terhadap peristiwa München ini dilacak dan dibunuh.[71]
Pada hari Yom Kippur 6 Oktober 1973 yang merupakan hari suci Yahudi, pasukan Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terhadap Israel. Perang tersebut berakhir pada tanggal 26 Oktober dengan Israel berhasil memukul balik pasukan Mesir dan Suriah. Walaupun demikian perang ini dianggap sebagai kekalahan Israel.[72] Sebuah komisi yang dibentuk untuk menginvestigasi perang ini membebaskan pemerintah Israel dari tanggung jawab. Namun kemarahan publik Israel pada akhirnya memaksa Perdana Menteri Golda Meir untuk mengundurkan diri.
Pemilihan Knesset 1977 menandai terjadinya titik balik dalam sejarah perpolitikan Israel. Pada pemilihan ini, Menachem Begin yang berasal dari partai Likud mengambil alih kontrol pemerintahan dari Partai Buruh Israel.[73] Pada tahun itu pula, Presiden Mesir Anwar El Sadat melakukan kunjungan ke Israel dan mengucapkan pidato di depan Knesset. Aksi ini dilihat sebagai pengakuan kedaulatan Israel yang pertama oleh negara Arab.[74] Dua tahun kemudian, Sadat dan Menachem Begin menandatangani Persetujuan Camp David dan Perjanjian Damai Israel-Mesir.[75] Israel menarik mundur pasukannya dari semenanjung Sinai dan setuju untuk bernegosiasi membahas otonomi warga Palestina yang berada di luar Garis Hijau. Namun, rencana tersebut tidak pernah diimplementasi. Pemerintahan Begin mendukung warga Israel untuk bermukim di Tepi Barat, mengakibatkan konflik dengan warga Palestina di daerah tersebut.
Pada tanggal 7 Juni 1981, Israel membombardir reaktor nuklir Osirak milik Irak pada Operasi Opera. Badan intelijen Israel, Mossad, mencurigai reaktor nuklir tersebut akan digunakan Irak untuk mengembangkan senjata nuklir. Pada tahun 1982, Israel melakukan intervensi pada Perang Saudara Lebanon untuk menghancurkan basis-basis serangan Organisasi Pembebasan Palestina di Israel Utara. Intervensi ini kemudian berkembang menjadi Perang Lebanon Pertama.[76] Israel menarik pasukannya dari Lebanon pada tahun 1986. Intifada Pertama yang merupakan perlawanan rakyat Palestina terhadap pemerintahan Israel[77] terjadi pada tahun 1987, menyebabkan terjadinya kekerasan di daerah pendudukan Israel. Selama 6 tahun berikutnya, lebih dari seribu orang tewas, kebanyakan merupakan korban kekerasan internal warga Palestina.[78] Selama Perang Teluk 1991, PLO dan kebanyakan warga Palestina mendukung Saddam Hussein dan Irak dalam melancarkan serangan misil terhadap Israel.[79][80]
Pada tahun 1992, Yitzhak Rabin menjadi Perdana Menteri Israel setelah memangkan pemilihan umum legislatif Israel 1992. Yitzhak Rabin dan partainya mendukung adanya kompromi dengan tetangga-tetangga Israel.[81][82] Setahun kemudian, Shimon Peres dan Mahmoud Abbas, sebagai wakil Israel dan PLO, menandatangani Persetujuan Oslo. Persetujuan ini memberikan Otoritas Nasional Palestina hak untuk memerintah di Tepi Barat dan Jalur Gaza.[83] Selain itu, juga dinyatakan pula pengakuan hak Israel untuk berdiri dan menyerukan berakhirnya terorisme.[84] Pada tahun 1994, Perjanjian Damai Israel-Yordania ditandatangani, membuat Yordania menjadi negara Arab kedua yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.[85]
Dukungan publik Arab terhadap persetujuan ini menurun setelah terjadinya peristiwa pembantaian umat muslim yang sedang bersembahyang di Masjid Ibrahimi oleh sekelompok ekstremis gerakan Kach. Selain itu, pemukiman warga Israel di daerah pendudukan yang masih berlanjut, serta menurunnya kondisi ekonomi Palestina juga menurunkan dukungan publik Arab. Dukungan publik Israel terhadap persetujuan ini juga berkurang setelah terjadinya rentetan kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh hamas. Pembunuhan Yitzhak Rabin yang dilakukan oleh esktremis Yahudi ketika ia sedang meninggalkan sebuah pawai yang mendukung perdamaian dengan Palestina mengejutkan seluruh negeri.
Pada akhir 1990-an, Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu menarik mundur pasukannya dari Hebron[86] dan menandatangai Memorandum Sungai Wye. Memorandum tersebut memberikan Otoritas Nasional Palestina kontrol yang lebih luas.[87]
Peluasan negara Israel atas tanah Palestina dalam beberapa tahun
No comments:
Post a Comment
KALO UDAH BACA JANGAN LUPA KOMENT GAN!